Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag [1]

Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia

Dosen UIN Walisongo

ABSTRAK

Artikel ini berjudul Hisab Rukyah Dimensi Maslahah. Hisab Rukyah merupakan salah satu eksistensi ilmu falak yang sangat membantu pada kajian ruang dan waktu (al-ibadah al-muwaqqat) dalam pelaksanaan ibadah umat Islam, seperti pelaksanaan ibadah shalat, ibadah puasa Ramadan, ibadah wukuf di Arafah. Ibadah-ibadah tersebut dalam kajian fiqhnya memerlukan pertimbangan kebenaran scientific, kebenaran ini diperoleh dengan aplikasi ilmu falak (astronomi) akan lebih memantapkan dalam pelaksanaan ibadah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan  teoritis (hisab) dan pendekatan observasi (rukyat), hal ini karena dalam ilmu falak yang dihisab adalah benda yang tidak statis (diam) tapi benda yang bergerak (dinamis) secara astronomis. Merujuk pada asumsi keberadaan benda yang dihisab yakni matahari – bulan dalam pertimbangan posisi dari bumi, artikel ini memilah sistem hisab, dalam katagori sistem hisab aritmatic dan sistem hisab astronomis. Langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya unifikasi kalender hijriyah berbasis pada keilmuan diantaranya adanya kesepakatan otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender dan kriteria yang disepakati serta batas wilayah yang jelas.

ABSTRACT

This article titled Hisab Rukyah of Maslahah Dimension. Hisab Rukyah is one of the existence of astronomy were very helpful in the study of space and time (al – muwaqqat worship) in the implementation of worship of Muslims, such as the implementation of prayers, fasting Ramadan, worship standing at Arafah. The worship in the study of fiqh requires consideration of scientific truth. This truth is obtained by application of astronomy (astronomy) will further strengthen the implementation of worship. The approach used a theoretical approach (computation) and the observation approach (rukyat), this is because in astronomy is not static objects (statis) but a moving object (dynamic) astronomically. Referring to the assumption of the existence of objects that judged the sun – moon into consideration the position of the earth, this article sorting system of hisab, in the category of hisab system aritmatic and astronomical hisab system. The measures undertaken in the unification effort hijriyah calendar based on scientific agreement among single authority which keeps the calendar system and agreed criteria as well as the exact boundaries.

  1. Menelisik Persoalan Ilmu Falak

Secara fungsional praktis[2], eksistensi ilmu falak (ilmu hisab rukyah) memang sangat berperan membantu pada kajian ruang dan waktu untuk pelaksanaan ibadah umat Islam. Di mana dalam ajaran agama Islam memang ada ibadah yang dibatasi ruang dan waktu (al-ibadah al-muwaqqat)[3] dan disamping ibadah yang tidak dibatasi ruang dan waktu (al-ibadat ghair al-muwaqqat).[4]  Ibadah yang dibatasi ruang dan waktu (al-ibadat al-muwaqqat)  inilah yang secara fungsional praktis memang membutuhkan ilmu falak bahkan sampai pada ranah keabsahan pelaksanaan ibadah tersebut. Sebut saja, pelaksanaan ibadah shalat, tidaklah bisa dikatakan absah jika belum masuk waktu shalat, tapi kita telah melaksanakan ibadah shalat tersebut. Begitu pula ibadah puasa Ramadan, tidak juga bisa katakan absah puasa Ramadan jika belum masuk tanggal 1 Ramadan, tapi kita telah melaksanakan ibadah puasa. Begitu pula tentang ibadah wukuf di Arafah, juga tidak absah jika dilaksanakan tidak pada mulai pukul 12 siang waktu setempat Arafah dan atau tidak di daerah padang Arafah  walaupun hanya 1 meter di luar padang Arafah, dan lain sebagainya dari ibadah-ibadah muwaqqat.

Oleh karena itu, keberadaan ibadah-ibadah yang dibatasi ruang dan waktu (al-ibadah al-muwaqqat) mestinya perlu kajian fiqh ibadah yang berdimensi scientific.[5] Artinya ibadah-ibadah tersebut dalam kajian fiqhnya perlu mempertimbangkan kebenaran scientific. Di mana kebenaran scientific yang diperoleh dengan aplikasi ilmu falak (astronomi) akan lebih memantapkan dalam pelaksanaan ibadah.[6] Sehingga  eksistensi ilmu falak dalam katagorisasi al-muktabarat dan ghair al-muktabarat-nya, tentunya yang menjadi pertimbangan bukan merujuk pada kitab atau buku yang tua (al-qadim), tapi merujuk pada buku atau kitab yang kontemporer (al-jadid). Dengan demikian kitab atau buku yang kontemporer (al-jadid) lebih muktabarah dibanding dengan kitab atau buku yang tua/lama (al-qadim), hal ini karena ilmu falak adalah kajian ilmu kealaman atau ke ruang angkasaan, sebagaimana pengakuan Muhammad Manshur al-Batawy dalam peringatannya bahwa data-data dalam kitabnya dalam waktu yang lama maka akan mengalami perubahan sebagaimana al-alam mutaghayyir wa kullu mutaghayyir hadis.[7]  

  1. Pendekatan Hisab Rukyah

Dalam ibadah yang membutuh penentuan waktu dan ruang (dalam arti arah)  dapat didekati dengan dua pendekatan yakni pendekatan teoritis (hisab) dan pendekatan observasi (rukyat).[8] Walaupun dengan pendekatan yang berbeda, seharusnya mendapatkan hasil yang sama, karena yang dihisab (pendekatan teoritis) dan yang diobservasi (pendekatan observasi) adalah sama. Seperti penentuan awal bulan kamariyah yang dasarnya adalah eksistensi hilal, maka seharusnya antara hisab dan rukyat menemukan hasil yang sama. Namun realitanya seringkali yang dihasilkan dari pendekatan hisab dan pendekatan observasi adalah berbeda.[9] Mengapa demikian, hal ini karena persoalan adanya perbedaan kriteria yang tetapkan, belum adanya kesepakatan  pendefinisian hilal[10] dan belum adanya kesepakatan posisi atau bagian hilal yang mana yang perlu dihisab.[11]

Di samping karena perbedaan criteria yang berbeda, juga karena dalam pendekatan hisab sendiri juga masih banyak persoalan-persoalan yang sebenarnya harus disepakati bersama. Bagaimana tidak, jika dalam data perhitungan dari berbagai kitab dan dari berbagai sistem  ternyata didapatkan hasil data hisab yang berbeda. Sehingga inilah yang menunjukkan bahwa keberadaan kebenaran hisab masih sebatas hepositis verifikatif.  Artinya kebenaran hisab masih diperlukan adanya pembuktian melalui verifikasi yakni melalui obervasi (rukyat). Hal ini wajar mengingat bahwa dalam ilmu falak yang dihisab adalah benda yang tidak statis (diam) tapi benda yang bergerak (dinamis) secara astronomis.

Oleh karena itu, dengan merujuk pada asumsi keberadaan benda yang dihisab yakni matahari – bulan dalam pertimbangan posisi dari bumi, penulis memilah sistem hisab, dalam katagori sistem hisab aritmatic dan sistem hisab astronomis.[12] Dinamakan sistem hisab aritmatic, karena memperhitungkan matahari – bulan – bumi dalam posisi pergerakan statis (tetap) atau waktu rata-rata. Hal ini sebagaimana yang ada dalam perhitungan (hisab) sistem jawa aboge[13], sistem jawa asapon[14], sistem alkhumasi, sistem yang dipakai  thariqah naksabandi Pasar Baru Padang Sumatera Barat.[15]  Sedangkan sistem hisab astronomis atau sistem  hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Sistem hisab inilah yang oleh para ulama disepakati yang dapat digunakan untuk pelaksanaan penentuan waktu ibadah secara syar’i, walaupun secara kenyataan, masih terdapat perbedaan hasil hisabnya.

Tabel 1

Contoh rekap data hisab dari berbagai sistem hisab

BULANSISTEMIJTIMATINGGIAWAL BULAN
HARITANGGALJAMHILALHARITANGGAL
RamadanSullamun NayyirainSenin8/7/201312:11:00.0002°54′30.00”Selasa9/7/2013
 1434Sullamun NayyirainSenin8/7/201314:15:00.0007°20′00.00”Selasa9/7/2013
 Fath R MananSenin8/7/201314:59:00.0001°30′00.00”Rabu10/7/2013
 Qawaid FalakiyahSenin8/7/201314:43:00.0001°06′00.00”Rabu10/7/2013
 ManahijulHamidiyahSenin8/7/201314:08:00.0000°05′00.00”Rabu10/7/2013
 Badiatul MitsalSenin8/7/201314:16:06.6100°43′56.09”Rabu10/7/2013
 Jean MeeusSenin8/7/201314:16:06.0000°50′25.00”Rabu10/7/2013
 Jean MeeusSenin8/7/201314:14:00.0000°23′29.00”Rabu10/7/2013
 Al-FalakiyahSenin8/7/201314:16:07.0000°35′19.00”Rabu10/7/2013
 Ittifaqu Dzatil BainSenin8/7/201314:09:45.0000°40′19.02”Rabu10/7/2013
 Ittifaqu Dzatil BainSenin8/7/201314:10:00.0001°19′43.70”Rabu10/7/2013
 Matla as-SaìdSenin8/7/201314:16:07.0000°57′33.00”Rabu10/7/2013
 EphemerisSenin8/7/201314:15:00.0000°39′00.00”Rabu10/7/2013
 EphemerisSenin8/7/201314:15:54.8800°19′27.43”Rabu10/7/2013
 New CombSenin8/7/201314:14:31.0000°44′30.00”Rabu10/7/2013
 New CombSenin8/7/201314:27:27.5400°53′11.89”Rabu10/7/2013
 Nurul AnwarSenin8/7/201314:09:00.0000°48′00.00”Rabu10/7/2013
 Khulashatul WafiahSenin8/7/201314:15:30.0000°13′45.00”Rabu10/7/2013
 Almanak NautikaSenin8/7/201314:15:00.0000°42′29.39”Rabu10/7/2013
 AhillaSenin8/7/201314:16:06.0000°38′58.00”Rabu10/7/2013
 RHISenin8/7/201314:16:00.0000°38′00.00”Rabu10/7/2013
 Irsyadul MuridSenin8/7/201314:16:00.0000°38′40.21”Rabu10/7/2013
 Lunar P. ProV1.77Senin8/7/201314:15:00.0000°41′10.00”Rabu10/7/2013
 AstroinfoSenin8/7/201314:16:00.0000°45′00.00”Rabu10/7/2013
 Mawaaqit Senin8/7/201314:14:36.0000°25′48.00” Rabu  10/7/2013
 Falakiyah NajmiSenin8/7/201314:15:32.0000°42′58.00”Rabu10/7/2013
Tsamratul FikrSenin8/7/201314:16:00.0000°42′51.52”Rabu10/7/2013
E.W. BrownSenin8/7/201314:14:05.0000°16′01.00”Rabu10/7/2013

Sebagaiamana dalam hisab,

Begitu pula terdapat perbedaan dalam pendekatan observasi (rukyat) juga banyak persoalan perbedaan yang pelik, di antaranya perbedaan konsistensi visibilitas hilal, masih terdapat kontroversi observasi hilal antara yang berhasil dan tidak berhasil dalam suatu lokasi yang sama atau lokasi pengamat yang berbeda. Hasil observasi hilal dari berbagai lokasi di bumi diharapkan konsisten. Belum ada cara efektif untuk memastikan hasil observasi hilal yang tidak mengandung kekeliruan. Walaupun upaya teknologi dengan menggunakan rekaman observasi hilal telah dilakukan namun upaya teknologi belum memperlihatkan tanda-tanda keberhasilannya, karena tingkat kesulitan di lapangan dan ekonomisasi dan minimalisasi peralatan yang diperlukan. Walaupun ada juga yang berhasil melakukan rekaman, sebagaimana penulis sendiri lakukan pada rukyatul hilal pada penentuan 1 Syawal 1430 (2009) yang dilaksanakan di Menara Al-Husna Masjid Agung Jawa Tengah pada hari Sabtu, 19 September 2009 bersama Hendro Setyanto dan Dani Hardi Wijaya, peneliti Boscha Bandung.[16] 

Penolakan hasil observasi hilal yang berhasil namun kontradiksi dengan teori dan pengalaman rukyatul hilal lainnya adalah sesuatu persoalan lagi yang tidak mudah diselesaikan. Observasi hilal tetap harus mengindahkan aspek lokasi, posisi suatu tempat di permukaan bumi. Berpijak pada persoalan ini, penulis merokemendasikan dari badan terkait (baca : Badan Hisab Rukyat (BHR) untuk di Indonesia) sebaiknya memberikan sertifikasi kelayakan tempat rukyat, yang berdasarkan pada kajian yang komprehensip dan ilmiah kontemporer.[17] Sehingga jika ada persoalan, di suatu tempat rukyat ada seseorang ada yang menyatakan melihat hilal namun secara ilmiah tidak mungkin bisa dilihat, dapat ditolak dengan dasar kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[18] Pelatihan secara astronomi tentang pengamatan hilal melalui mata bugil memerlukan partisipasi banyak pihak agar kekeliruan demi kekeliruan bisa dikurangi dan ditiadakan. Observasi hilal yang tidak berkaitan dengan penentuan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah sebaiknya secara konsisten dilakukan selain untuk pengetahuan juga untuk konsistensi kalender hijriyah.[19] 

Oleh karena itu, selain ahli rukyat harus mengupayakan hasil rukyat yang tidak mengandung kekeliruan, karena hal ini akan berdampak pada kehidupan dalam masyarakat luas, maka tantangan para fuqaha untuk dapat menyepakati penggunaan kriteria imkanurrukyat visibilitas hilal sebagai acuan pergantian awal bulan hijriyah.[20] Data pengamatan atau empiris tentang hilal yang keliru atau tidak lengkap dapat merambat pada kekeliruan hasil analisis yang disandarkan oleh data empiris tersebut. Kehati-hatian (ihtiyath) dalam menilai hasil pengamatan empirik dengan mata bugil tanpa rekaman memang tidak mudah dan pada akhirnya apabila dipaksakan dalam menggunakan data empirik tersebut hanya menyandarkan pada kepercayaan dan reputasi profesionalitas seseorang pengamat hilal.

 Schaefer, Ahmad dan Dogget mengkaji ulang beberapa hasil pengamatan hilal abad 19 dan 20 melalui data tanggal pencatatan keberhasilan pengamatan hilal termuda dan kondisi cuaca dan lokasi pengamat.[21] Pengkajian tersebut berkesimpulan bahwa beberapa catatan data pengamatan tersebut tidak dapat dipercaya karena kontradiksi secara teoritis dan tidak konsisten dengan hasil empirik pengamatan hilal lainnya. Pengamatan ulang hilal yang bersifat independen, tanpa melibatkan hasil pengamatan hilal yang terdahulu juga sangat diperlukan. Cara ini menempati peran untuk menguji konsistensi melalui pendekatan secara terpisah. Agar pengambilan kriteria visibilitas hilal dapat dilakukan dengan baik. Unifikasi kalender hijriyah sedang berjalan, sosok kalender hijriyah bergantung pada kesepakatan fuqaha dalam menggunakan hilal sebagai pergantian bulan hijriyah. Ahli rukyat dapat saling melengkapi pengetahuan tentang visibilitas hilal dengan ahli hisab maupun astronom mengingat bahwa hasil visibilitas hilal menentukan masalah halal dan haram serta persatuan umat, perlu ada ikhtiar yang lebih serius mengenai rukyat.

Penetapan awal bulan kamariyah juga terkait dengan masalah mathla’. mathla’ artinya tempat terbit, dalam hal ini adalah tempat sebagai perhitungan menculnya hilal untuk menetapkan awal bulan-bulan hijriyah terutama Ramadan, Syawal dan Zulihijjah. Beberapa pendapat yang muncul menyatakan bahwa awal bulan ditetapkan berdasarkan mathla’ lokal atau mathla’ Internasional. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa awal bulan kamariyah seharusnya ditetapkan dengan mathla’ Internasional, di mana hasil rukyat di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia.[22] Dengan kata lain, ketika suatu negara di dunia ini telah melihat hilal, maka seluruh dunia harus melaksanakan puasa atau berhari raya. pendapat ini muncul karena teknologi yang sudah sangat maju, sehingga dunia bagaikan daun kelor di mana informasi dari negara dapat diketahui di negara lain dalam waktu sekejap. Pendapat ini didasarkan pada argumentasi bahwa khitab dari hadis-hadis hisab rukyat ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Pendapat ini dikenal dengan rukyat Internasional yang dipedomani oleh Komisi Unifikasi Kalender Hijriyah Internasional, di Indonesia diwakili oleh kelompok hizbut tahrir.[23]

Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa penetapan awal bulan kamariyah harus ditetapkan dengan mathla’ lokal, yakni hasil rukyat di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah tertentu. Seperti dalam lokal wilayah kekuasaan hakim yang mengitsbatkan hasil rukyat tersebut. Pendapat ini terkenal dengan ru’yat fi wilyatil hukmi, sedangkan mathla’nya disebut dengan mathla’ fi wilayatil hukmi. Pemerintah Indonesia termasuk dalam kategori yang kedua ini, juga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Baik Nahdlatul Ulama[24] maupun Muhammadiyah[25], mathla’ ini dibuat dasar perhitungan kemunculan hilal di daerah negara Indonesia. Sehingga penetapan awal bulan kamariyah baru dapat ditetapkan apabila salah satu daerah di Indonesia telah dapat melihat hilal atau menurut perhitungan sudah di atas ufuk, sehingga dapat berlaku bagi seluruh Indonesia.

C.  Kebersamaan dan Kemaslahatan

Konsep mathla’ wilayatil hukmi yang selama ini diterapkan oleh Pemerintah, Nahdatul Ulama, Muhamadiyah[26] dan ormas lainnya di Indonesia dalam perspektif maslahah kiranya sangatlah bermaslahah, apalagi juga mempertimbangkan wilayatil hukmi negara tetangga (wilayah Nusantara) yakni negara-negara Brunei Darussalam – Malaysia – Singapura. Pertimbangan bagaimana keputusan negara tetangga (dalam hal ini negara Indonesia), juga dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat (BHR) negara-negara seperti negara Brunei Darussalam dan Singapura[27] dalam setiap akan menyampaikan pertimbangan keputusan kepada lembaga otoritas mereka. Saling mempertimbangkan semacam itu, kiranya perlu dilakukan untuk membangun kesepakatan untuk kebersamaan dalam kerangka teori saintific yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena secara ruang dan waktu (baca : geografis) dalam satu wilayah Nusantara, penetapan satu waktu ibadah dalam hal ini penetapan dalam 1 hijriyah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, dalam wilayah Nusantara ini, kiranya sangat mungkin dilakukan kesepakatan upaya unifikasi kalender hijriyah Nusantara yakni negara-negara MABIMS[28] secara ilmiah.

Apalagi dalam ranah kalender hijriyah termasuk penentuan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah, demensi sosialnya sangat kental. Dengan demikian mengedepankan yang lebih maslahah dengan upaya unifikasi kalender hijriyah yang berbasis pada keilmuan kiranya menjadi sangat penting. Namun demikian untuk menuju unifikasi kalender hijriyah, yang perlu pertama kali dibangun sebagai pondasi adalah adanya kesepakatan. Di mana kesepakatan yang perlu dibangun adalah : Pertama dan yang paling utama adanya otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender yang disepakati[29], Selanjutnya baru perlu adanya kriteria yang disepakati[30], dan adanya batas wilayah yang jelas yang disepakati.

Dengan demikian, yang perlu dibangun terlebih dahulu adalah kesepakatan untuk kebersamaan[31], karena tanpa dimulai dengan kesepakatan untuk kebersamaan, kesepakatan-kesepakatan selanjutnya yang bersifat tehnis ilmiah tiada gunanya.  Kesepakatan tehnis unifikasi kalender hijriyah baik secara nasioanal maupun regional (Nusantara – baca MABIMS) kiranya perlu bangun kriteria yang berpijak pada kajian ilmiah yang  kontekstual secara nasional maupun regional. Oleh karena secara regional, eksistensi MABIMS kiranya perlu mengajak pada lembaga-lembaga riset maupun profesi[32] terkait di masing-masing negara-negara MABIMS untuk dapat melakukan penelitian berjejaring secara kontinyu, sehingga dihasilkan kesepakatan kriteria yang dapat disepakati berdasarkan riset tersebut.

Wallahu a’lam bishshowab.


[1]          Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, lahir di Kudus, 12 Mei 1972, Ketua Umum (ADFI) Asosiasi Dosen Falak Indonesia, Ka Prodi S.2 Ilmu Falak Program Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang, Ketua Umum Dewan Pembina DPP ASTROFISIKA, Anggota Tim Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI, Anggota (MCW) Moonsighting Committe Worldwide,  Koordinator Diklat Lajnah Falakiyah PBNU dan Pengasuh Pesantren Life Skill Daarun Najaah Semarang, dan pernah menjabat sebagai Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyah Kemenag RI, HP. 08122828471, 08992777834, email izzuddin_2008@yahoo.com.

[2] Dalam  kajian fungsional praktis, ilmu falak dalam kajiannya memang berkisar pada kajian posisi bumi – bulan dan matahari. Walaupun sebagaimana dalam al-Khulasat al-Wafiyah  karya Zubaer Umar Al-Jaelany,  tidak hanya sebatas pada kajian bumi – bulan dan matahari, namun juga kajian benda langit lainnya, begitu pula dalam kitab ilm al-falak karya Yahya Syami.

[3] Kalau ditelusuri al-ibadat  al- muwaqqat hampir semua dalam kajian ilmu falak, sebut saja hisab awal waktu shalat, hisab awal bulan kamariah, hisab awal bulan syamsiah, hisab gerhana, hisab arah kiblat dan waktu pelaksanaan wukuf di padang Arafah.

[4] Al-ibadat ghair al-muwaqqat  seperti ibadah shadakah, infak, shalat muthlak dan lain sebagainya.

[5] Hal ini dalam pemahaman penulis bahwa fiqh ibadah dapat dikatagorikan pada ibadah yang ansich sufistic dan ibadah yang berdemensi scientific. 

[6] Hal ini kiranya dapat difahami dari aplikasi al-qaidah al-fiqhiyah : “al-Ijtihad la yanqudu bi al-ijtihad” yang mencontohkan diperbolehkan ibadah shalat menghadap arah kiblat berpindah arah setelah mengetahui arah kiblat sebenarnya. Baca Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, Jakarta : Maktabah Sa’adiyah Putra, t.th, h. 37.

[7] Baca kitab Sullam al-Nayyirain karya Muhammad Manshur al-Batawy.

[8] Dari persoalan praktis yang dalam kajian ilmu falak, persoalan penentuan awal bulan kamariah adalah persoalan yang masih selalu bermasalah menimbulkan perbedaan antara pendekatan hisab dan pendekatan rukyat di masyarakat. Sehingga dikenal persoalan klasik namun nan aktual.

[9] Hal ini yang membuat penulis menjadi gerang dengan selalu berbedanya antara pendekatan  hisab dan pendekatan rukyat, yang kemudian penulis terilhami menulis sebuah artikel di media cetak, dengan judul “Andai Hilal Bisa Ngomong”, baca Republika, 17 September 2009.

[10] Dalam bahasa Agus Mustofa dalam Khazanah Ramadan Jawa Pos, 23 Juli 2012, mengatakan bahwa ujung pangkal perbedaan penentuan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah adalah perbedaan pendefenisian hilal yakni ada hilal secara tradisi dan hilal secara subtansi. Catatan kritis Agus Mustopa memang tidak semuanya benar, namun untuk masalah pendefinisian hilal ini kiranya layak untuk menjadi catatan besar bagi pakar ilmu falak maupun astronomi. Di antara catatan kritis Agus Mustopa yang perlu ditanggapi adalah mengenai konsep Waktu Shalat, lihat Jam saja, baca Jawa Pos, 29 Juli 2012

[11] Yang dihitung adalah piringan atas hilal atau piringan bawah hilal, juga belum ada kesepakatan.

[12] Dalam istilah yang selama ini dikenal dengan sistem hisab urfi dan sistem hisab hakiki. Istilah hisab hakiki dan pengelompokannya dalam hisab hakiki taqribi, hakiki tahkiki dan hakiki kontemporer adalah merujuk pada hasil seminar sehari Hisab Rukyat pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor. Baca Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyat, Jakarta : Erlangga, 2007, h. 57  bandingkan dengan Muhammad Nur, Pedoman Perhitungan awal Bulan Qamariyah, Jakarta : Depag RI, 1983, h. 7.

[13] Jumlah hari dari bulan puasa menurut sistem jawa Aboge selalu genap 30 hari, tidak pernah 29 hari seperti pada cara perhitungan astronomis. Adapun istilah Aboge dapat dirinci bahwa “a” berasal dari alip, salah satu dari delapan tahun siklus windu; “bo” mengacu pada rebo (hari rabu); dan “ge” berasal dari wage, salah satu dari hari pasaran yang lima. Ini berarti bahwa tahun alip selalu dimulai pada hari rabu wage, dengan mengetahui ini maka akan dapat menghitung hari jatuh riyaya (hari lebaran) setiap tahun. Cara yang lebih singkat adalah mengambil hari permulaan tahun (1 sura) dan menggunakan rumus “waljiro”. “wal” adalah bulan syawal, “ji” berarti tanggal siji (satu), dan “ro” adalah berarti loro (dua), yaitu hari pasarannya. Ini berarti bahwa hari lebaran jatuh pada tanggal 1 syawal dihitung dengan menghitung satu dari hari mingguan dan dua dari hari pasaran pada permulaan tahun. Misalnya, kalau permulaan tahun itu ehe, dan tanggal 1 sura pada hari ngahad pon, maka hari lebaran akan jatuh pada hari ngahad  wage. Baca makalah Ahmad Izzuddin,  Aneka Ragam Hisab Rukyat di Indonesia, disampaikan pada Orientasi Hisab Rukyat PTAI se-Indonesia pada tanggal 12 April 2011 di Bogor Jawa Barat.

[14] Sistem Jawa Asapon (tahun alip mulai pada hari Selasa Pon) yang sampai sekarang dipegangi mayoritas umat Islam Jawa (Kejawen) terutama di kalangan lingkungan kraton Yogyakarta. Baca Tjokorda Rai Sudharta, I Gusti Oka Hermawan, W. Winda Winaban, Kalender 301 Tahun, Jakarta : Balai Pustaka, 1984, h.22.

[15] Thariqah Naksabandi Pasar Baru Padang Sumatera Barat mendasarkan perhitungan yang mereka gunakan yaitu umur bulan Ramadhan adalah 30 hari tetap setiap tahun, umur bulan dalam setahun dimulai : Ramadhan (30hari), Syawal (29hari), Zulka’dah (30hari), Dzulhijah (29hari), Muharam (30hari), Safar (29hari), Rabiul Awal (30hari), Rabiul Akhir (29hari), Jumadil Awal (30hari), Jumadil Akhir (29hari), Rajab (30hari), Sya’ban (29hari). Baca Ahmad Izzuddin, Loc. cit.

[16] Merupakan salah satu keberhasilan melihat hilal yang dipakai dasar keputusan Menteri Agama RI dalam penetapan tanggal 1 Syawal 1430 H.

[17] Perlu adanya sertifikasi tempat rukyat dengan kajian ilmiah dalam perspektif multidisipliner. Dengan sertifikasi tempat rukyat, akan ada data kajian kemungkinan bisa dilihat atau tidaknya hilal di suatu tempat rukyat dengan pertimbangan posisi titik koordinat tempat rukyat, cuaca dan posisi hilalnya pada saat akhir bulan tersebut..

[18] Sehingga terkait seperti kasus tempat rukyat Cakung Jakarta Timur, apakah layak menjadi tempat rukyat ataukah tidak, sudah bisa diatasi secara ilmiah.

[19] Hal sebagaimana yang dilakukan oleh Lajnah Falakiyah PBNU dengan mengisntruksikan kepada para perukyat NU di seluruh Indonesia, setelah pelatihan rukyat berkwalitas Masjid Agung Jawa Tengah tahun 2006.

[20]  Imkanurrukyat dengan kriteria irtifa` minimal 2 derajat. Kriteria ini dipilih/dapat diterima oleh Nahdaltul Ulama (NU menggunakan hisab sebagai alat bantu). Kriteria ini juga dipakai pemerintah Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dengan tambahan kriteria : (1) umur Hilal minimal 8 jam, dan (2) sudut elongasi minimal 3 derajat. Imkanurrukyat dengan kriteria (1) irtifa` minimal 5 derajat, (2) sudut elongasi minimal 8 derajat. Kriteria ini ditetapkan sebagai kesepakatan Istambul oleh beberapa ahli hisab pada saat terjadinya konferensi kalender Islam di Turki pada tahun 1978. Imkanurrukyat dengan kriteria sudut elongasi minimal 5 derajat, kriteria ini diusulkan oleh Derek McNally pada tahun 1983.  Imkanurrukyat dengan kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat ditambah kriteria irtifa` minimal 4 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung, kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat merupakan kriteria yang lebih dahulu diusulkan Odeh/Muhammad Syaukat Audah. Ada juga imkanurrukyat dengan kriteria sudut elongasi minimal 7 derajat dan umur Hilal minimal 12 jam. Kriteria ini diusulkan oleh Andre Danjon, direktur Observatorium Starsbourg dari Prancis, pada tahun 1936, kriteria ini dikenal pula dengan istilah “Limit Danjon”, kriteria ini juga diterima oleh Bradley E. Schaefer dari USA pada tahun 1991. Dan juga imkanurrukyat dengan kriteria sudut elongasi minimal 7.5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Louay F. Fatoohi, F. Richard Stephenson & Shetha S. Al-Dargazelli pada tahun 1998, kriteria ini dikenal kriteria Fatoohi.

Dan masih ada beberapa macam kriteria yang dipakai pada metode hisab imkanurrukyat. Dalam prakteknya, kriteria-kriteria imkanurrukyat tersebut dapat dipadukan dengan kriteria lain dalam menentukan hilal bulan Qamariyah atau dalam membuat kalender Hijriyah, misalnya ditambah kriteria pembagian dunia menjadi beberapa zona dengan menerapkan garis tanggal Hijriyah atau garis tanggal Qamariyah atau Khat at-Tarikh al-Qamari atau Lunar Date atau International Lunar Date Lines (ILDL)

[21] Republika,7 Juni 2000, Unifikasi Kalender Islam Tantangan Dunia Astronomi, Fuqaha dan Ahli Rukyat, Moedji Raharto, Staf Akademik UPT Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung.

[22] Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyat, Jakarta: Erlangga, 2007, h. 86.

[23] Hizbut Tahrir adalah Jamaatul Muslimin Hizbullah yang mengampanyekan daulat Islamiyyat. Wali al-Fatah, Khilafah ‘Ala Minhaj al-Nubuwwah, Jakarta: al-Jama’ah, 1990, hlm. 83.

[24] Rukyatul hilal fi wilayatil hukmi.

[25] Wujudul hilal fi wilayatil hukmi.

[26] Selama ini semuanya merujuk pada konsep wilayatul hukmi, walaupun konsep wilayatul hukminya masih perlu ada kejelasan batas wilayahnya. Karena menurut penulis jika konsisten dengan konsep wilayatul hukmi, kiranya harus jelas dengan batas wilayah secara kenegaraan di mana menurut konsep Bakosurtanal, wilayah negara Indonesia mencakup darat, laut dan udara.  

[27] Hal ini sebagaimana disampaikan Dr. Firdaus Yahya, delegasi Singapura, dan Dr. Haji Julaihi bin Haji Lamat, delegasi Brunei Darussalam, pada Musyawarah Penyelarasan Rukyah dan Raqwim Islam MABIMS di Bali, 28 Juni 2012

[28] MABIMS adalah komite ini lahir berawal dari pertemuan tahunan tidak resmi Menteri-Menteri Agama negara Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura sejak 1991.

[29] Hampir dalam lokakarya atau munas atau rapat badan hisab rukyat, sebenarnya selalu disepakati dengan tertulis dalam rumusan lokakarya dan lain sebagainya : “sepakat memposisikan Pemerintah cq Menteri Agama RI sebagai ulil amri yang memegang otoritas penetapan awal bulan qamariyah dalam takwim (kalender) standar Indonesia”, baca lengkap di rumusan hasil sidang badan hisab rukyat Kementerian Agama RI, 19 Juni 2012

[30] Hasil musyawarah ulama, ahli hisab dan rukyat dan ormas Islam tentang kriteria imkanurRukyat yang dilaksanakan pada tanggal 24-26 Maret 1998 / 25-27 Dulqa’dah 1418 di hotel  USSU, Cisarua Bogor Jawa Barat : 1). Penentuan awal bulan kamariah didasarkan pada sistem hisab hakiki tahkiki dan atau rukyat .2). Penentuan awal bulan kamariah yang terkait dengan  pelaksanaan ibadah mahdhah yaitu awal Ramadan, Syawal dan awal Zulhijjah ditetapkan dengan memperhitungkan hisab hakiki tahkiki dan rukyat. 3). Kesaksian Rukyat dapat diterima apabila ketinggian hilal 2 derajat dan jarak ijtima ke ghurub matahari minimal 8 jam. 4). Kesaksian Rukyat hilal dapat diterima apabila ketinggian hilal kurang dari dua derajat maka awal bulan ditetapkan berdasarkan istikmal. 5). Apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat ditetapkan. 6). Kriteria Imkanurrukyat tersebut di atas akan dilakukan penelitian lebih lanjut. 7). Menghimbau kepada seluruh pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam mensosialisasikan keputusan ini. 8) Dalam melaksanakan isbat, pemerintah mendengarkan pendapat-pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli.

[31] Menurut penulis, upaya membangun kesepakatan kebersamaan bulat penuh kiranya bukan pekerjaan mudah, namun jikalau ada mayoritas aliran atau golongan yang sepakat, lalu dibangun kesepakatan untuk membangun kesepakatan tehnis upaya unifikasi kiranya tidaklah salah. Dengan catatan tetap membangun toleransi terhadap golongan atau aliran di luar mayoritas. Namun demikian demi membangun suasana ukhuwwah islamiyah, kiranya belajar pada konsep fiqh bahwa jikalau pendapat minoritas berbeda dengan pendapat mayoritas, maka pendapat tidak perlu ifta atau publikasi secara terbuka, kiranya suasana suasana ukhuwwah islamiyah menjadi sejuk. Begitu sebaliknya, pendapat mayoritas tidak perlu intervensi pada pendapat minoritas. Memang ibadahnya bersifat pribadi, namun nuansa ibadah sosialnya perlu dibangun suasana yang menyejukkan.

[32] Seperti di Indonesia ada akhir tahun 2009, sebuah komunitas ahli falak muncul dengan diawali adanya lokakarya Nasional pengembangan ilmu falak di PTAI dan temu Dosen se Indonesia yang diselenggarakan oleh Prodi Konsentrasi Ilmu Falak jurusan Al-Ahwal Al-Syaksiyah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang bernama ADFI (Asosiasi Dosen Falak Indonesia) pada tanggal 2 Desember 2009 yang mana penulis ditunjuk sebagai ketua umum ADFI untuk periode pertama 2009-2013. Tidak lama setelah itu, muncul satu komunitas ahli falak perempuan  (KFPI – Komunitas Falak Perempuan Indonesia) yang dipelopori oleh mahasiswi Konsentrasi Ilmu Falak Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan pertama (2007). Komunitas ini dideklarasikan pada hari Jum’at tanggal 18 Desember 2009 dengan periodisasi 2009-2013 untuk memberdayakan kader-kader falak perempuan di Indonesia yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Ada juga KPPI (Komunitas Penyatuan Penanggalan Islam) yang digagas oleh komunitas masjid Salman ITB Bandung, di samping ada RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) di Yogyakarta, berkembangnya Lajnah Falakiyah di tingkat kota Kabupaten se Indonesia, Muhammadiyah yang ditangani oleh Majlis Tarjih dan Tajdid, Pusat Studi Falak Muhammadiyah bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah dan PP Muhamamdiyah (Majlis Tarjih dan Tajdid), Pusat Studi Astronomi (PSA) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Forum kajian falak Zenith ITB Bandung, HIMASTRON (Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB Bandung), komunitas ahli falak amatir Yogyakarta, Jogja Astro Club (JAC) Komunitas astronom amatir dari Yogyakarta, CASA Club Astronomi Santri Assalam PP. Assalam Surakarta, Lembaga Hisab Rukyat Independent Al-MIIQAAT Semarang, Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ), Lembaga Hisab Rukyat Independen (LHRI) Semarang, Yayasan Al Falakiyah Surabaya, Forum Kajian Falak di Perguruan Tinggi Agama Islam, seperti Puskalafalak Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, dan pada akhir tahun 2013 tepatnya bulan Desember pondok pesantren modern Isam Assalam Surakarta menjadi saksi sejarah lahirnya ASTROFISIKA(Asosiasi Maestro Astronomi dan ilmu Falak Indonesia Merdeka) dan masih banyak lagi.