Hampir setiap menjelang berakhirnya Ramadlan menjelang Syawal, masyarakat awam selalu mempertanyakan perihal kapan hari raya Idul Fitri. Selalu dipertanyakan karena sampai sekarang di Indonesia belum ada kejelasan dan belum ada kepastian karena belum ada kesepakatan (consensus – ijma’) dalam metode penetapannya. Tidak seperti penetapan hari raya agama lain sepertiNatal, Waisak, Nyepi dan lain sebagaimana. Sehingga sering terjadi perbedaandalam memulai puasa Ramadan dan mengakhirnya. Untuk akhir Ramadan 1439 H sekarang ini juga demikian, terbukti banyak sms yang masuk ke nomor hp penulis, menanyakan kapan akhir Ramadan 1439 H sekarang ini ? Terjadi perbedaan, apa tidak ?
Antara Hisab dan Rukyat
Untuk mengetahui kapan kita harus mengakhiri puasa ramadan (ber-hari raya), pada dasarnya Rasulullah saw telah memberikan tuntunan sebagaimana disebut dalam hadis Buchari Muslim :” Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, bila tertutup oleh awan maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari ”.
Namun demikian dalam realita pemahaman hadis tersebut terdapat perbedaan interpretasi, ada yang memahami “rukyah” harus dengan benar-benar melihat (yakni aliran rukyah) dan ada yang memahami bahwa “rukyah” cukup dengan memperhitungkan (aliran hisab). Bahkan di Indonesia terdapat banyak aliran yang juga dampak dari perbedaan pemahaman hadis hisab rukyah tersebut. Namun yang banyak mewarnai dalam wacana penetapan awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah di Indonesia selama ini adalah aliran rukyah satu wilayah negara ( rukyah fi wilayatil hukmi ) yang dipakai Nahdlatul Ulama, aliran hisab wujudul hilal yang dipakai Muhammadiyah dan hisab imkanurrukyah yang dipakai oleh Pemerintah. Apalagi masing-masing aliran juga sering kali mengeluarkan ikhbarnya. Sehingga wajar jika sering terjadinya perbedaan dalam penetapan awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah di Indonesia selama ini.
Di samping karena itu, kalau kita cermati ternyata perbedaan tersebut dilatar belakangi oleh beberapa hal. Pertama, perbedan sistem hisab dan rukyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga menimbulkan perbedaan hasil penggarapan yang oleh para pakar falak, sistem falak diklasifikan (hisab haqiqy taqriby, hisab haqiqy tahqiqy, hisab haqiqy kontemporer). Kedua, perbedaan hasil ijtihad para ulama fiqh dalam masalah penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Ada aliran rukyat seperti Imam Romli dan Al-Khatib Asy-Syaibani yang menyatakan jika rukyat berbeda dengan perhitungan hisab, maka yang diterima adalah kesaksian rukyat karena hisab diabaikan oleh syariat (Nihayah Al muhtaj III:351), ada aliran hisab, seperti Imam As-Subkhy, Imam Ibbady dan Imam Qalyuby. Menurut mereka jika ada orang yang menyaksikan melihat hilal sedangkan menurut perhitungan hisab tidak mungkin dirukyat maka kesaksian itu harus ditolak (I’anatutTholibin II:261) dan ada aliran moderat seperti Imam Ibnu Hajar yang menyatakan bahwa syahadat atau rukyat dapat ditolak jika ahli hisab sepakat (ittifaq), namun jika tidak terjadi ittifaq maka rukyat tidak dapat ditolak (Tuhfah Al Mulhaj III:382). Ketiga, perbedaan tingkat sosial. Bagi masyarakat yang sudah modern, mereka bersifat terbuka, objektif, selektif dalam berfikir halnya dengan masyarakat tradisional yang notebene bersifat isolatif dan fanatik, karena itu maka dapat terpengaruh dalam menerima pemikiran produk fiqh baru termasuk dalam hal hisab rukyah.
Padahal jika kita telaah secara serius dan tajam, maka semestinya keterpaduan penggunaan hisab yang akurat dalam hal ini seperti menggunakan hisab haqiqy kontemporer semacam Al Manak Nautika dan Jean Meeus serta Ephemeris dan rukyah sangat penting dalam menentukan awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah. Karena dengan hisab yang akurat, kita akan bisa mempredisikan lebih dini tentang jatuhnya awal bulan tersebut. Sehingga antara hisab dan rukyat itu bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, satu dengan lainnya saling melekat dan menguatkan. Atau dalam term hukum dapat dibahasakan hisab sebagai keterangan saksi. Di mana hisab yang akurat diperlukan untuk panduan pelaksanan rukyat yang benar sedangkan eksistensi rukyat sebagai alat bukti kebenaran hisab.
Hisab Rukyat 1439 H
Bagaimana dengan 1 syawal 1439 H (tahun ini 2018) ? Menurut data hisab yang akurasinya dapat dipertanggungjawabkan, bahwa Ijtima’ akhir Ramadan 1439 H, terjadi hari Kamis kliwon, 14 Juni 2018 M pukul 02:45 wib , tinggi hilal mar’i dari Sabang sampai Merauke berkisar antara 7 derajat sampai 7 derajat 30 menitan lebih di atas ufuk, lama hilal di atas ufuk berkisar 30 menit sampai 45 menit lebih, elongasi 9 derajat 7 menit dan umur hilal 14 jam 45 menit.
Bagaimana dengan rukyat hari Kamis tanggal 14 Juni 2018 ? Apakah para ahli rukyat akan dapat berhasil melihat hilal pada tanggal 14 Juni 2018 ? Mengingat posisi Bulan dan Matahari pada hari Kamis tanggal 14 Juni 2018, hilal tersebut sangat tinggi yakni 7 derajat lebih, tergolong sudah memenuhi kriteria imkanurrukyat 2-3-8 yang selama ini disepakati. Kesempatan untuk pengamatan hilal setelah matahari terbenam relatif cukup lama (30 menitan). Dukungan cuaca yang relatif kering pada bulan Juni 2018 ini memberikan harapan keberhasilan pengamatan hilal awal Syawal 1439 H. Untuk seluruh wilayah Indonesia dari Merauke sampai Sabang ketinggian hilal mar’I dari + 07 derajat sampai + 07 derajat 30 menit lebih.
Dari data hisab ini, dapat dipastikan bahwa Muhammadiyah (aliran hisab wujudul hilal) akan berhari raya Idul Fitri 1439 H pada hari Jumat legi, 15 juni 2018, karena jelas ketinggian hilal sudah di atas ufuk. Begitu pula Pemerintah jika memang konsisten dengan prinsip hisab Imkanurrukyah, maka mestinya walau tetap menunggu hasil pelaksanaan rukyatul hilal pada sore hari Kamis, 14 Juni 2018, di mana ketinggian hilal menurut standar “tradisi Indonesia 2 derajat” biasanya dapat dilihat (dirukyah) sudah sangat layak bisa dilihat yakni 7 derajat lebih, sehingga tentunya akan menetapkan 1 Syawal 1439 H jatuh pada hari Jumat legi, 15 juni 2018, sehingga puasa Ramadannya hanya 29 hari.
Nahdlatul Ulama yang memakai aliran rukyah dalam satu wilayah negara (rukyah fi wilayatil hukmi), kiranya penentuannya masih menunggu hasil rukyah yang baru dilakukan pada sore padahari Kamis, 14 juni 2018. Namun demikian, mestinya Nahdlatul Ulama dapat mempertimbangkan hasil hisab yang menunjukkan ketinggian hilal yang sudah sangat tinggi yakni 7 derajat lebih dari“ditradisikan di Indonesia bisa dilihat yakni 2 derajat” yang selalu dapat dirukyah. Apalagi diNahdlatul Ulama juga banyak pakar hisab yang terwadahi dalam Lajnah Falakiyyah Nahdlatul Ulama, kiranya Nahdatul Ulama bisa mempertimbangkan hal ini dalam mengambil keputusan walaupun cuaca medung. Karena Indonesia termasuk daerah yang sulit untuk dilakukan rukyah karena tropis (curah hujan termasuk tinggi) apalagi menurut ramalan Badan Meteorologi dan Geofisika sekarang ada kemungkinan mendung.
Namun jika Nahdlatul Ulama “patent” harus dengan hasil rukyatul hilal, makajika terlihat maka akan ber-Idul Fitri sama yakni Jum’at, 15 juni 2018, namun jika tidak berhasil dilihat, maka harus menyempurnakan 30 hari bulan puasaRamadan (istikmal), yang berarti Jum’at, 15 juni 2018 masih tanggal 30 puasa Ramadan, sedangkan hari raya Idul Fitri baru akan ditetapkan pada hari Sabtu pahing, 16 juni 2018.
Namun demikian, karena ini masalah fiqh social, kiranya penetapan awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah ini idealnya jika kita sepakat untuk dapat bersama-sama – kompak – bareng-bareng – tidak terjadi perbedaan, mestinya cukup ada satu ifta atau isbat dalam satu negara sebagaimana negara-negara yang lain seperti Malaysia, misalnya percaya pada ifta atau isbat Pemerintah. Sehingga kebersamaan akan dapat terwujud dengan baik, sebagaimana kaidah fiqh : Hukmul Hakim Ilzamun wa Yarfa’ul Khilaf (Penetapan Pemerintah menyelesaikan dan menghilangkan perbedaan). Tidak seperti selama ini, di mana masing-masing ormas mengeluarkan fatwa sendiri, walaupun mereka juga ikut dalam sidang istbat bersama yang diselenggarakan Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama.
Mengharap Bersama
Merujuk pada hasil hisab di atas kiranya hari raya Idul Fitri 1439 (tahun ini) semoga ada tim yang berhasil melihat hilal, agar dapat bersama-sama – kompak – tidak terjadi perbedaan dalam berhari raya Idul Fitri 1439 H yakni pada hari Jumat, 15 Juni 2018. Kalau tidak ada tim yang berhasil melihat hilal, akan lebih bijaksana demi kemaslahatan umat, maka permasalahan fiqh sosial seperti awal penetapan bulan Ramadhan ini, keputusan ada diserahkan kepada pemerintah cq.Menteri Agama atas pertimbangan “hukmul hakim ilzamun wayarfaul khilaf”. Oleh karena itu jika pemerintah telah menetapkan dan memutuskan, maka seluruh masyarakat Indonesi harus mematuhinya (Hasyiah Syarwani III:376, al Fiqh ala Madzahibil Arba’ah I: 433-435). Dengan demikian umat Islam Indonesia akan seragam dalam berhari raya Idul Fitri 1439 H. Keseragaman dan kesatuan amaliah ini amat diperlukan dalam rangka menggalakkan dan memperkokoh ukhuwah Islamiyah. Oleh karena itu marilah kita tunggu sidang itsbat Pemerintah tentang 1 Syawal 1439 H pada hari Kamis 14 Juni 2018.