Menata Ibadah Berdemensi Keshalehan Sosial

Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag

Kasubdit Pembinaan Syariah & Hisab Rukyat Kemenag RI

Pengasuh Pesantren Life Skill PP Daarun Najaah Semarang

 

Mengapa walau muslim di Indonesia adalah muslim terbanyak sedunia, namun Indonesia termasuk kelompok negara terkorup di dunia ? Mengapa walau jumlah jamaah haji Indonesia tiap tahun selalu terbanyak sedunia bahkan selalu bertambah lebih banyak dan atau bahkan banyak yang berangkat haji berkali-kali, namun belum nampak dampak positif bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik ? Mengapa walau banyak jamaah shalat, banyak masjid megah, namun di masyarakat masih banyak kemungkaran terjadi ? Mengapa walau banyak dan bertahun-tahun dilaksanakan pembayaran zakat, namun belum nampak adanya perubahan ekonomi yang lebih baik ?

Beberapa bertanyaan mengapa di atas,  memperlihatkan bahwa selama ini keberagamaan kita ( ibadah kita ) belum berarti apa-apa dalam kehidupan kita. Padahal pada dasarnya filosofi setiap ibadah  selalu mengandung dua demensi yakni demensi hablum minallah dan hablum minannas ( Ibrahim Al-Khouly dalam  Islam And Contemporary Society ). Artinya setiap ibadah tentunya  akan membentuk adanya keshalehan individual ( spiritualitas individu – esoteris ) dan keshalehan social  ( moralitas publik – eksoteris ) sekaligus, yang tentunya  memberikan kemaslahatan kepada umatnya  di dunia dan akhirat ( fiddunya wal alkhirah ).

                Orientasi Ibadah Ideal

                Dengan kandungan dua demensi sekaligus (hablum minallah  dan hablum minannas ) dalam setiap ibadah, jelas bahwa Islam pada dasarnya bukanlah agama yang hanya menjadikan ibadah ritualnya semata-mata sebagai sesembahan rutin dan simbolik. Artinya Islam tentunya tidak ingin menjadikan umatnya terkungkung dalam seremoni keagamaan tanpa adanya kemaslahatan humanis namun sebuah ajaran yang penuh dengan pesan moral dan pesan social secara holistic dalam kehidupan. Menurut istilah  Anderson dalam Islamic Law in Modern Word, Islam adalah pandangan hidup yang lengkap mencakup agama, etik dan system hokum.

Oleh karena itu, dalam bahasa Agama  manakala orientasi ibadah hanya dalam kerangka hablum minallah  tanpa adanya kerangka hablum minannas, maka di sini ibadah hanya dalam capaian shihah ibadah – sah ibadahnya dan hanya merefleksikan keshalehan individual saja. Sedangkan manakala dua kerangka demensi yakni hablum minallah dan hablum minannas terpenuhi sekaligus  dalam  beribadah, maka di sinilah keberagamaan kita mencapai kamal al-ibadah ( kesempurnaan ibadah ) yang berarti akan terefleksi keshalehan individual dan keshalehan social sekaligus dan inilah sejatinya peribadahan dalam Islam.

Sehingga idealnya orientasi ibadah kita tentunya meraih kamal al-ibadah ( kesempurnaan ibadah ), yang secara reflektif  akan melahirkan keshalehan individual dan keshalehan social secara sekaligus, sebagaimana idealnya Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Realitanya

Sekarang  bagaimana dengan keberagamaan kita  ( ibadah kita ) selama ini ?  Disadari atau tidak disadari, selama ini kita masih seringkalai hanya berorientasi pada capaian sahnya ibadah – shihah ibadah. Sehingga wajar manakala refleksi ibadah kita selama ini masih sebatas keshalehan individual dan belum memberikan refleksi keshalehan social. Sehingga peribadahan kita belum dapat memberikan baisan positif pada perilaku sosial  dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan terkadang masih ada perilaku kontra produktif dengan nilai-nilai esensial semestinya dari peribadahan itu sendiri.

Coba kita telusuri realita keberagamaan kita. Dalam masalah shalat, melihat pentingnya ibadah  shalat, sejak kecil  orang tua kita dan guru-guru kita selalu menekankan agar shalat tidak dilupakan dan tidak dilalaikan. Bahkan sangking perhatiannya ada nasehat jawa paten  “ terserah karep dadi opo, sing penting sholati ojo lali “  ( terserah mau jadi apa, yang penting shalatnya jangan lupa ).

Hal demikian kiranya tidak keliru, hanya saja jarang ditanamkan bahwa shalat tidaklah semata-mata ibadah ritual rutin saja. Namun juga merupakan ibadah yang mempunyai fungsi selalu melatih diri menjauhi perbuatan yang dibenci Allah dan merugikan orang lain ( sebagimana disebutkan dalam al-Qur’an tentang fungsi social ibadah shalat adalah tan-ha ‘anil fakhsya’I wal munkar. Sehingga wajar  manakala orientasi shalat kita selama ini masih sebatas sing penting sholate sah ( yang penting shalatnya sah ). Oleh karena itu wajar manakala  belum dapat menciptakan keshalehan social, dan ibadah semacam itu paling-paling baru hanya menciptakan keshalehan individual.

Inilah kesalahan fatal dalam memahami pesan moral dan pesan social agama. Sebagai akibatnya nampak bahwa tidak ada korelasi searah antara banyaknya masjid, banyaknya jamaah shalat  dengan perilaku dan ahklak orang-orang yang shalat tersebut  dalam kehidupan social sehari-hari.

Begitu pula dalam ibadah zakat. Kita seringkali dalam memberikan zakat masih hanya sebatas bagaimana menggugurkan kewajibannya yang berarti masih dalam pencarian batasan sah ibadah ( shihah al-ibadah ) . Belum berorientasi pada kepentingan social zakat yakni pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan umat. Sehingga wajar manakala dalam ibadah zakat yang masih bersifat karikatif  tersebut tidak menciptakan keshalehan social dalam hal ini mengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi. Oleh karena itu, kehadiran UU Zakat di tengah-tengah kita sekarang ini kiranya dapat menjadi harapan kita untuk merubah orientasi ibadah zakat kita dari hanya pencarian sah ibadah  ( shihah al-ibadah )  menjadi  pencapaian  kamal  al-ibadah ( sempurnanya ibadah ).

Demikian juga dengan ibadah puasa Ramadan. Kita seringkali hanya membatasi diri untuk menjaga tidak melakukan perbuatan maksiat dan berbuat kemanusiaan hanya dalam bulan Ramadan, tidak melangsungkan secara kontinyu pasca Ramadan. Sehingga jelas di sini bahwa orientasi ibadah kita masih sebatas mencari sah ibadah ( shihah al-ibadah ), belum dalam kerangka upaya pencapaian kamal al-ibadah.

Tak beda juga dalam hal ibadah haji. Bagaimana dikatakan mempunyai keshalehan social ? manakala setelah haji tidak mempunyai rasa social – kepekaan social masyarakat di sekitarnya. Bahkan malahan pergi haji berkali-kali, tanpa menghiraukan masyarakat sosial sekitar. Padahal  jelas bahwa salah satu ciri haji yang mabrur adalah bagaimana dapat mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaan pasca haji ( pesan nabi dalam khotbah haji wada’ ). Sehingga kiranya wajar manakala kita  mempertanyakan kemabruran haji seseorang manakala pasca haji ia tidak mempunyai keshalehan social dalam kehidupannya.

Oleh karena itu, haji yang demikian kiranya masih sebatas menghasilkan keshalehan individual dan belum sampai pada penumbuhan keshalehan social. Karena masih hanya sebatas pemenuhan sah ibadah belum pada kamal al-ibadah.

Dari uraian di atas, kiranya wajar manakala belum  ada ( jika tidak mau dikatakan tidak ada ) korelasi searah antara banyaknya umat Islam – banyaknya jamaah shalat – banyaknya zakat – banyaknya jamaah haji dengan terwujudnya nilai-nilai ideal kemanusiaan yakni kemaslahatan social, keadilan social dan  kemakmuran social dalam kehidupan sehari-hari, ketika umat Islam di Indonesia masih hanya  sebatas pemenuhan sah ibadah  ( sing penting ibadahe sah )  dalam orientasi peribadahannya.

Oleh karena itu untuk mewujudkan nilai-nilai ideal kemanusiaan tersebut kiranya kita perlu memperbaiki orientasi ibadah kita yakni  “Ojo Cuma berorientasi sing penting ibadahe sah tapi bagaimana sejatine ibadah iku”. Artinya jangan hanya pencarian sebatas sah ibadah ( shihah al-ibadah ) tapi berorientasi  kamal al-ibadah ( sempurnanya ibadah ). Sehingga akan terwujudkan keshalehan individual dan keshalehan social sekaligus, sebagaimana esensi agama Islam itu sendiri sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Amin.  Wallahu  a’lam bishshowab.